MAKALAH
ILMU BUDAYA DASAR
“KEBUDAYAAN
SUKU BADUY”
![Hasil gambar untuk gunadarma logo](https://yuristianto.files.wordpress.com/2016/01/logo-ug.png)
Kelas : 1EA12
Anggota :
1. Donna Riake Salsabila (16217872)
2. Firyal Humairah (12217399)
3. Muhammad Rama Pratama (14217175)
4. Safigah (15217439)
FAKULTAS EKONOMI JURUSAN MANAJEMEN
TAHUN AJARAN 2017/2018
KATA
PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “KEBUDAYAAN SUKU BADUY”, makalah ini disusun untuk
memenuhi salah satu tugas mata pelajaran Ilmu Budaya Dasar.
Makalah disusun berdasarkan
hasil observasi dan penelusuran dari narasumber terpecaya yang diharapkan
berguna untuk mengembangkan kreatif, daya pikir dan untuk menambah pengetahuan
tentang kebudayaan di Indonesia.
Segala petunjuk, arahan dan bantuan
dari berbagai pihak yang penulis terima dalam menyusun maklah ini sangatlah
besar artinya. Untuk itu, dalam kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga
makalah ini bermanfaat.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
1.2
Sejarah Awal Adanya Suku Baduy
1.3 Kelompok dalam suku Baduy
1.3.1 Kelompok tangtu (baduy
dalam)
1.3.2 Kelompok Masyarakat panamping (baduy
luar)
1.3.3 Kelompok Baduy Dangka
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Mata Penceharian
2.2 Hukum di dalam Masyarakat
Baduy
2.3 Segi Berpakaian
2.4
Bahasa
2.5
Kepercayaan
2.6
Tarian
2.7
Pernikahan
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Budaya adalah suatu cara
hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan
diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang
rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas,
pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan
bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung
menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha
berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan
perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola
hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek
budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini
tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
1.2 Sejarah Awal
Adanya Suku Baduy
Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok
masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan “Baduy”
merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat
tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan
mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang
berpindah-pindah (nomaden).
Ada dua kategori masyarakat di Baduy, Baduy Luar
merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah baduy dalam.
Sedangkan Baduy Dalam adalah bagian dari keseluruhan suku Baduy. Tidak seperti
baduy luar, warga Baduy Dalam masih memegang teguh adat istiadat nenek moyang
mereka. Pada dasarnya, peraturan yang ada di baduy luar dan baduy dalam itu
hampir sama, tetapi baduy luar lebih mengenal teknologi dibanding baduyadalam.
Konon pada sekitar abad ke XI dan XII Kerajaan Pajajaran menguasai seluruh tanah Pasundan yakni dari Banten, Bogor, priangan samapai ke wilayah Cirebon, pada waktu itu yang menjadi Rajanya adalah PRABU BRAMAIYA MAISATANDRAMAN dengan gelar PRABU SILIWANGI.
Konon pada sekitar abad ke XI dan XII Kerajaan Pajajaran menguasai seluruh tanah Pasundan yakni dari Banten, Bogor, priangan samapai ke wilayah Cirebon, pada waktu itu yang menjadi Rajanya adalah PRABU BRAMAIYA MAISATANDRAMAN dengan gelar PRABU SILIWANGI.
Kemudian pada sekitar abad ke XV dengan masuknya ajaran Agama Islam yang dikembangkan oleh saudagar-saudagar Gujarat dari Saudi Arabia dan Wali Songo dalam hal ini adalah SUNAN GUNUNG JATI dari Cirebon, dari mulai Pantai Utara sampai ke selatan daerah Banten, sehingga kekuasaan Raja semakin terjepit dan rapuh dikarenakan rakyatnya banyak yang memasuki agama Islam. Akhirnya raja beserta senopati dan para ponggawa yang masih setia meninggalkan keraan masuk hutan belantara kearah selatan dan mengikuti Hulu sungai, mereka meninggalkan tempat asalnya dengan tekad seperti yang diucapkan pada pantun upacara Suku Baduy “ Jauh teu puguh nu dijugjug, leumpang teu puguhnu diteang , malipir dina gawir, nyalindung dina gunung, mending keneh lara jeung wiring tibatan kudu ngayonan perang jeung paduduluran nu saturunan atawa jeung baraya nu masih keneh sa wangatua”
Artinya : jauh tidak menentu yang tuju ( Jugjug ),berjalan tanpa ada tujuan, berjalan ditepi tebing, berlindung dibalik gunung, lebih baik malu dan hina dari pada harus berperang dengan sanak saudara ataupun keluarga yang masih satu turunan “
Keturunan ini yang sekarang bertempat tinggal di kampong Cibeo ( Baduy Dalam ) dengan cirri-ciri : berbaju putih hasil jaitan tangan ( baju sangsang ), ikat kepala putih, memakai sarung biru tua ( tenunan sendiri ) sampai di atas lutut, dan sipat penampilannya jarang bicara ( seperlunya ) tapir amah, kuat terhadap Hukum adat, tidak mudah terpengaruh, berpendirian kuat tapi bijaksana.
Berasal dari Banten Girang/Serang
Menurut cerita yang menjadi senopati di Banten pada waktu itu adalah putra dari Prabu Siliwangi yang bernama Prabu Seda dengan gelar Prabu Pucuk Umun setelah Cirebon dan sekitarnya dikuasai oleh Sunan Gunung Jati, maka beliau mengutus putranya yang bernama Sultan Hasanudin bersama para prajuritnya untuk mengembangkan agama Islam di wilayah Banten dan sekitarnya. Sehingga situasi di Banten Prabu Pucuk Umun bersama para ponggawa dan prajurutnya meninggalkan tahta di Banten memasuki hutan belantara dan menyelusuri sungai Ciujung sampai ke Hulu sungai , maka tempat ini mereka sebut Lembur Singkur Mandala Singkah yang maksudnya tempat yang sunyi untuk meninggalkan perang dan akhirnya tempat ini disebut GOA/ Panembahan Arca Domas yang sangat di keramatkan .
Keturunan ini yang kemudian menetap di kampung Cikeusik ( Baduy Dalam ) dengan Khas sama dengan di kampong Cikeusik yaitu : wataknya keras,acuh, sulit untuk diajak bicara ( hanya seperlunya ), kuat terhadap hukum Adat, tidak mudah menerima bantuan orang lain yang sifatnya pemberian, memakai baju putih ( blacu ) atau dari tenunan serat daun Pelah, iket kepala putih memakai sarung tenun biru tua ( diatas lutut ).
Berasal dari Suku Pangawinan ( campuran )
Yang dimaksud suku Pengawinan adalah dari percampuran suku-suku yang pada waktu itu ada yang berasal dari daerah Sumedang, priangan, Bogor, Cirebon juga dari Banten. Jadi kebanyakanmereka itu terdiri dari orang-orang yang melangggar adat sehingga oleh Prabu Siliwangi dan Prabu Pucuk Umun dibuang ke suatu daerah tertentu. Golongan inipun ikut terdesak oleh perkembangan agama Islam sehingga kabur terpencar kebeberapa daerah perkampungan tapi ada juga yang kabur kehutan belantara, sehingga ada yang tinggal di Guradog kecamatan Maja, ada yang terus menetap di kampong Cisungsang kecamatan Bayah, serta ada yang menetap di kampung Sobang dan kampong Citujah kecamatan Muncang, maka ditempat-tempat tersebut di atas masih ada kesamaan cirikhas tersendiri. Adapun sisanya sebagian lagi mereka terpencar mengikuti/menyusuri sungai Ciberang, Ciujung dan sungai Cisimeut yang masing-masing menuju ke hulu sungai, dan akhirnya golongan inilah yang menetap di 27 perkampungan di Baduy Panamping ( Baduy Luar ) desa Kanekes kecamatan Leuwidamar kabupaten Lebak dengan cirri-cirinya ; berpakaian serba hitam, ikat kepala batik biru tua, boleh bepergian dengan naik kendaraan, berladang berpindah-pindah, menjadi buruh tani, mudah diajak berbicara tapi masih tetap terpengaruh adanya hukum adat karena merekan masih harus patuh dan taat terhadap Hukum adat.
Dari suku Baduy panamping pada tahun 1978 oleh pemerintah diadakan proyek PKMT ( pemukiman kembali masyarakat terasing ) yang lokasinya di kampung Margaluyu dan Cipangembar desa Leuwidamar kecamatan Leuwidamar dan terus dikembangkan oleh pemerintah proyek ini di kampung Kopo I dan II, kampung Sukamulya dan kampung Sukatani desa Jalupangmulya kecamatan Leuwidamar .
Suku Baduy panamping yang telah dimukimkan inilah yang disebut Baduy Muslim, dikarenakan golongan ini telah memeluk agama Islam, bahkan ada yang sudah melaksanakan rukun Islam yang ke 5 yaitu memunaikan ibadah Haji.
1.3.1
Kelompok Tangtu (baduy dalam)
Suku Baduy Dalam tinggal di
pedalaman hutan dan masih terisolir dan belum masuk kebudayaan luar.selain itu
orang baduy dalam merupakan yang paling patuh kepada seluruh ketentuan maupun
aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Pu’un (Kepala Adat). Orang Baduy dalam
tinggal di 3 kampung,yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang
Baduy Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai
ikat kepala putih dan golok. Pakaian mereka tidak berkerah dan berkancing,
mereka juga tidak beralas kaki. Meraka pergi kemana-mana hanya berjalan kaki
tanpa alas dan tidak pernah membawa uang. mereka tidak mengenal sekolah, huruf
yang mereka kenal adalah Aksara Hanacara dan bahasanya Sunda. Mereka tidak
boleh mempergunakan peralatan atau sarana dari luar. Jadi bisa di bayangkan
mereka hidup tanpa menggunakan listrik, uang, dan mereka tidak mengenal
sekolahan. Salah satu contoh sarana yang mereka buat tanpa bantuan dari
peralatan luar adalah Jembatan Bambu. Mereka membuat sebuah Jembatan tanpa
menggunakan paku, untuk mengikat batang bambu mereka menggunakan ijuk, dan
untuk menopang pondasi jembatan digunakan pohon-pohon besar yang tumbuh di tepi
sungai.
1.3.2
Kelompok masyarakat panamping (baduy Luar)
Mereka tinggal di desa
Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, yang mengelilingi wilayah baduy
dalam. Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala
berwarna hitam. suku Baduy Luar biasanya sudah banyak berbaur dengan masyarakat
Sunda lainnya. selain itu mereka juga sudah mengenal kebudayaan luar, seperti
bersekolah.
1.3.3
Kelompok Baduy Dangka
Mereka tinggal di luar
wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu
Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi
sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar.
![Hasil gambar untuk suku baduy](https://cdn.yukepo.com/content-images/listicle-images/2017/02/28/30171.jpeg)
![Hasil gambar untuk suku baduy](https://s-media-cache-ak0.pinimg.com/originals/28/34/27/283427ddef5da27778cda786b8cbe779.jpg)
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Mata
Penceharian
![Hasil gambar untuk mata pencaharian suku baduy](https://humaspdg.files.wordpress.com/2010/05/022.jpg)
Mata pencaharian masyarakat
Baduy adalah bertani dan menjual
buah-buahan yang mereka dapatkan dari hutan
Selain itu Sebagai tanda
kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin
melaksanakan seba yang masih rutin diadakan setahun sekali
dengan mengantarkan hasil bumi kepada penguasa setempat yaitu Gubernur Banten.
Dari hal tersebut
terciptanya interaksi yang erat antara masyarakat Baduy dan penduduk luar.
Ketika pekerjaan mereka diladang tidak mencukupi, orang Baduy biasanya
berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan berjalan kaki, umumnya
mereka berangkat dengan jumlah yang kecil antara 3 sampai 5 orang untuk mejual
madu dan kerajinan tangan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Perdagangan yang semula hanya dilakukan dengan barter kini sudah menggunakan
mata uang rupiah. Orang baduy menjual hasil pertaniannya dan buah-buahan melalui
para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi
sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes
seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Hasil pertanian mereka berupa beras bisanya mereka simpan di
lumbung padinya yang ada di setiap desa. Selain beras meraka juga memabuat
kerajinan tangan seperti tas koja yang bahannya terbuat dari kulit
kayu yang di anyam. Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka
mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma dan berkebun, mengolah gula
aren dan tenun. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari
menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam
keranji, serta madu hutan.
2.2 Hukum
di didalam Masyarakat Baduy
Hukuman disesuaikan dengan
kategori pelanggaran, yang terdiri atas pelanggaran berat dan pelanggaran ringan. Hukuman ringan biasanya dalam bentuk
pemanggilan sipelanggar aturan oleh Pu’un untuk diberikan peringatan. Yang
termasuk ke dalam jenis pelanggaran ringan antara lain cekcok atau beradu-mulut
antara dua atau lebih warga Baduy.
Hukuman Berat diperuntukkan
bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat. Pelaku pelanggaran yang
mendapatkan hukuman ini dipanggil oleh Jaro setempat dan diberi peringatan.
Selain mendapat peringatan berat, siterhukum juga akan dimasukan ke dalam
lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan adat selama 40 hari. Selain itu,
jika hampir bebas akan ditanya kembali apakah dirinya masih mau berada di Baduy
Dalam atau akan keluar dan menjadi warga Baduy Luar di hadapan para Pu’un dan
Jaro. Masyarakat Baduy Luar lebih longgar dalam menerapkan aturan adat dan
ketentuan Baduy.
Menariknya, yang namanya
hukuman berat disini adalah jika ada seseorang warga yang sampai mengeluarkan
darah setetes pun sudah dianggap berat. Berzinah dan berpakaian ala orang kota.
Banyak larangan yang diatur
dalam hukum adat Baduy, di antaranya tidak boleh bersekolah, dilarang
memelihara ternak berkaki empat, tak dibenarkan bepergian dengan naik
kendaraan, dilarang memanfaatkan alat eletronik, alat rumah tangga mewah dan
beristri lebih dari satu. Menurut keterangan Bapak Mursyid, Wakil Jaro Baduy
Dalam, beliau mengatakan bahwa di lingkungan masyarakat Baduy, jarang sekali
terjadi pelanggaran ketentuan adat oleh anggota masyarakatnya. Dan oleh
karenanya, jarang sekali ada orang Baduy yang terkena sanksi hukuman, baik
berdasarkan hukum adat maupun hukum positif (negara). Jika memang ada yang
melakukan pelanggaran, pasti akan dikenakan hukuman. Seperti halnya dalam suatu
negara yang ada petugas penegakkan hukum, Suku Baduy juga mempunyai bidang
tersendiri yang bertugas melakukan penghukuman terhadap warga yang terkena
hukuman. Hukuman disesuaikan dengan kategori pelanggaran, yang terdiri atas
pelanggaran berat dan pelanggaran ringan.
2.3 Segi
Berpakaian
Dari segi berpakain, didalam
suku baduy terdapat perbedaan dalam berbusana yang didasarkan pada jenis
kelamin dan tingkat kepatuhan pada adat saja, yaitu Baduy Dalam dan Baduy
Luar.Untuk Baduy Dalam, para pria memakai baju lengan panjang yang disebut
jamang sangsang, Potongannya tidak memakai kerah, tidak pakai kancing dan tidak
memakai kantong baju. Warna busana mereka umunnya adalah serba putih.
Pembuatannya hanya menggunakan tangan dan tidak boleh dijahit dengan mesin.
Bahan dasarnya pun harus terbuat dari benang kapas asli yang ditenun.
Untuk bagian bawahnya
menggunakan kain serupa sarung warna biru kehitaman, yang hanya dililitkan pada
bagian pinggang. Agar kuat dan tidak
melorot, sarung tadi diikat dengan selembar kain. Serta pada bagian kepala suku
baduy menggunakan ikat kepala berwarna putih. Ikat kepala ini berfungsi sebagai penutup rambut
mereka yang panjang, kemudian dipadukan dengan selendang atau hasduk.
Masyarakat Baduy yakin dengan pakaian yang serba putih polos itu dapat
mengandung makna suci bersih.
Bagi suku Baduy Luar, busana
yang mereka pakai adalah baju kampret berwarna hitam. Ikat kepalanya juga
berwarna biru tua dengan corak batik. Desain bajunya terbelah dua sampai ke
bawah, seperti baju yang biasa dipakai khalayak ramai. Sedangkan potongan
bajunya mengunakan kantong, kancing dan bahan dasarnya tidak diharuskan dari
benang kapas murni. Cara berpakaian suku Baduy Luar Panamping memamg
ada sedikit kelonggaran bila dibandingkan dengan Baduy Dalam.. Terlihat dari
warna, model ataupun corak busana Baduy Luar, menunjukan bahwa kehidupan mereka
sudah terpengaruh oleh budaya luar.
Sedangkan, untuk busana yang dipakai di kalangan wanita Baduy dalam maupun Baduy Luar tidak terlalu menampakkan perbedaan yang mencolok. Model, potongan dan warna pakaian, kecuali baju adalah sama. Mereka mengenakan busana semacam sarung warna biru kehitam-hitaman dari tumit sampai dada. Busana seperti ini biasanya dikenakan untuk pakaian sehari-hari di rumah. Bagi wanita yang sudah menikah, biasanya membiarkan dadanya terbuka secara bebas, sedangkan bagi para gadis buah dadanya harus tertutu. Dalam kehidupan keseharian manusia, berpakaian merupakan salah satu alat untuk melindungi diri dan menunjukan citra diri terhadap orang lain. Untuk memenuhi kebutuhan pakaiannya, masyarakat suku Baduy menenun sendiri yang dikerjakan oleh kaum wanita. Dimulai dari menanam biji kapas, kemudian dipanen, dipintal, ditenun sampai dicelup menurut motifnya khasnya. Penggunaan warna pakaian untuk keperluan busana hanya menggunakan warna hitam, biru tua dan putih. Kain sarung atau kain wanita hampir sama coraknya, yaitu dasar hitam dengan garis-garis putih, sedangkan selendang berwana putih, biru, yang dipadukan dengan warna merah. Semua hasil tenunan tersebut umumnya tidak dijual tetapi dipakai sendiri. Bertenun biasanya dilakukan oleh wanita pada saat setelah panen. Jenis busana yang dikerjakan antara lain, baju, kain sarung, kain wanita, selendang dan ikat kepala. Selain itu, ada kerajinan yang dilakukan oleh kalangan pria di antaranya adalah membuat golok dan tas koja, yang terbuat dari kulit pohon teureup ataupun benang yang dicelup.
Dalam hal ini masyarakat Baduy yang merupakan suku
terasing di Banten sudah memikirkan dalam hal berpakaian dalam
masyarakatnya..Sebelumnya Suku Baduy adalah suku yang menetap di ujung Pulau
Jawa sebelah barat Suku Baduy terdiri dari dua kelompok masyarakat, yaitu Baduy
Luar, yang tinggal luar daerah Baduy
Dalam,dan baduy dalam yang menetap di Cibeo, Cikertawana dan Cikeusik.Dalam
pandangannya mereka yakin berasal dari satu
keturunan, yang memiliki satu keyakinan, tingkah laku, cita-cita, termasuk busana yang
dikenakannya pun adalah sama. Kalaupun ada perbedaan dalam berbusana, perbedaan
itu hanya terletak pada bahan dasar, model dan warnanya saja.Baduy Dalam
merupakan masyarakat yang masih tetap mempertahankan dengan kuat nilai-nilai
budaya warisan leluhurnya dan tidak terpengaruh oleh kebudayaan luar. Ini
berbeda dengan Baduy Luar yang sudah mulai mengenal kebudayaan luar. Perbedaan
antara Baduy Dalam dan Baduy Luar seperti itu dapat dilihat dari cara busananya
berdasarkan status sosial, tingkat umur maupun fungsinya. Perbedaan busana
hanya didasarkan pada jenis kelamin dan tingkat kepatuhan pada adat saja, yaitu
Baduy Dalam dan Baduy Luar.
Bagi masyarakat Baduy Dalam maupun Luar biasanya jika
hendak bepergian selalu membawa senjata berupa golok yang diselipkan di balik
pinggangnya serta dilengkapi dengan membawa tas kain atau tas koja yang
dicangklek (disandang) di pundaknya.
Untuk pakaian bepergian,
biasanya wanita Baduy memakai kebaya, kain tenunan sarung berwarna biru
kehitam-hitaman, karembong, kain ikat pinggang dan selendang. Warna baju untuk
Baduy Dalam adalah putih dan bahan dasarnya dibuat dari benang kapas yang
ditenun sendiri.
2.4 Bahasa
Bahasa Baduy adalah bahasa
yang digunakan suku Baduy. Penuturnya tersebar di gunung Kendeng, Rangkasbitung,
Lebak; Pandeglang; dan Sukabumi. Dari segi linguistik, bahasa Baduy bukan dialek dari bahasa Sunda, tapi dimasukkan ke dalam suatu rumpun bahasa Sunda, yang sendirinya merupakan kelompok dalam rumpun bahasa
Melayu-Sumbawa di cabang Melayu-Polinesia dalam rumpun bahasa
Austronesia.
Untuk berkomunikasi dengan
penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak
mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes Dalam tidak
mengenal budaya tulis, sehingga adat-istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita
nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
Orang Kanekes tidak mengenal
sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan adat-istiadat mereka.
Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di desa-desa
mereka. Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak era Suharto pemerintah telah berusaha
memaksa mereka untuk mengubah cara hidup mereka dan membangun fasilitas sekolah
modern di wilayah mereka, orang Kanekes masih menolak usaha pemerintah
tersebut. Akibatnya, mayoritas orang Kanekes tidak dapat membaca atau menulis.
2.5
Kepercayaan
Kepercayaan Suku Baduy atau
masyarakat kanekes sendiri sering disebut dengan Sunda Wiwitan yang berdasarkan
pada pemujaan nenek moyang (animisme), namun semakin berkembang dan dipengaruhi
oleh agama lainnya seperti agama Islam, Budha dan Hindu. Namun inti dari kepercayaan itu sendiri ditunjukkan
dengan ketentuan adat yang mutlak dengan adanya “pikukuh” ( kepatuhan) dengan
konsep tidak ada perubahan sesedikit mungkin atau tanpa perubahan apapun.
Objek kepercayaan terpenting
bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan
dianggap paling sakral. masyarakatnya mengunjungi lokasi tersebut dan melakukan
pemujaan setahun sekali pada bulan kalima. Di kompleks Arca Domas tersebut
terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan
ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka
bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut
akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu
lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen.
Hanya ketua adat tertinggi puun dan
rombongannya yang terpilih saja yang dapat mengikuti rombongan tersebut. Di
daerah arca tersebut terdapat batu lumping yang dipercaya apa bila saat pemujaan batu tersebut terlihat penuh
maka pertanda hujan akan banyak turun dan panen akan berhasil, dan begitu juga
sebaliknya, jika kering atau berair keruh pertanda akan terjadi kegagalan pada
panen.
Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang
disambung.
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak
bisa/tidak boleh disambung)
Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di
bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah
kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak
mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada
pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga
tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan
tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang
mereka tidak melakukan tawar-menawar.
Bagi sebagian kalangan,
berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat
adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara
umum sebelum masuknya Islam.
2.6 Tarian
Tarian yang merupakan
gambaran dari kebiasaan Suku Badui dalam menyambut musim panen raya. Para
penari menarikan tariannya dengan sangat menjiwai. Ditambah dengan bau dupa
yang menyengat, menambah aura mistik dan sakral tarian yang mereka bawakan.
Diawali dengan seorang penabuh bedug, datanglah seorang penari wanita membawa
sesaji, kemudian ditaruh pada sebuah nampan besar. Setelah itu didoakan dan
dibagikan secara simbolik. Di daerah Baduy, Banten setiap kali musim panen raya
akan diadakan upacara Serentanen, yang merupakan upacara adat sakral di daerah
tersebut.
Macapada merupakan adaptasi dari upacara Serentanen
suku Baduy, Banten.Dalam upacara
tersebut suku Baduy luar akan memberikan persembahan kepada suku Baduy Dalam.
Persembahan tersebut nantinya akan didoakan sesuai adat Baduy dan oleh Baduy
Dalam nantinya akan di bawa ke kota untuk diserahkan kepada pihak pemerintah.
Sebagai perwakilan biasanya diterima oleh Bupati setempat. Upacara Serentanen
ini berasal dari suku Baduy asli.
2.7
Pernikahan
Di dalam proses pernikahan
yang dilakukan oleh masyarakat Baduy hampir serupa dengan masyarakat lainnya.
Namun, pasangan yang akan menikah selalu dijodohkan dan tidak ada yang namanya
pacaran. Orang tua laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua perempuan dan
memperkenalkan kedua anak mereka masing-masing.
Setelah mendapatkan
kesepakatan, kemudian dilanjutkan dengan proses 3 kali pelamaran. Tahap
Pertama, orang tua laki-laki harus melapor ke Jaro (Kepala Kampung) dengan
membawa daun sirih, buah pinang dan gambir secukupnya. Tahap kedua, selain
membawa sirih, pinang, dan gambir, pelamaran kali ini dilengkapi dengan cincin
yang terbuat dari baja putih sebagai mas kawinnya. Tahap ketiga, mempersiapkan
alat-alat kebutuhan rumah tangga, baju serta seserahan pernikahan untuk pihak
perempuan.
Pelaksanaan akad nikah dan
resepsi dilakukan di Balai Adat yang dipimpin langsung oleh Pu’un untuk
mensahkan pernikahan tersebut. Uniknya, dalam ketentuan adat, Orang Baduy tidak
mengenal poligami dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah
kembali jika salah satu dari mereka telah meninggal. Jika setiap manusia
melaksanakan hal tersebut.
3.1 Kesimpulan
Suku
baduy merupakan suku asli di tanah sunda yang berlokasi di daerah Banten. Suku
baduyn masih menjaga tradisi mereka dan menjaga amanat dari nenek moyang mereka
untuk selalu menjaga alam. Mereka sudah tidak lagi nomaden atau berpindah
seperti yang dikatakan oleh para ahli sejarah. Mereka sudah menetap dan
bercocok tanam bahkan masyarakat baduy luar
tidak lagi menutup diri, mereka sudah dapat berbaur dengan masyarakat
luar. Suku baduy merupakan bagian dari suku di Indonesia yang menjadi bukti
bawa Indonesia kaya akan keanekaragaman budaya yang harus dibanggakan dan
menghargai keberadaan mereka karena bagaimanpun juga mereka adalahwarga Negara
Indonesia yang masih memegang teguh kepercayaan kebuyutan atau amanat dari
nenek moyang.
DAFTAR
PUSTAKA
https://www.youtube.com/watch?v=RtFjUoP8nQ0
0 komentar:
Posting Komentar